ILMU
AL-NASIKH WA AL-MANSUKH
- A. Pengertian
Naskh menururt bahasa mempunyai dua
makna, menghapus dan menukil. Sehingga seolah-olah yang menasakh itu telah
menghapuskan yang mansukh, lalu memindahkan atau menukilkannya kepada hukum
yang lain. Sedangkan menurut istilah adalah “pengangkatan yang
dilakukan oleh penetap syariat terhadap suatu hukum yang datang terdahulu
dengan hukum yang datang kemudian.”
Ilmu Nasikh wa Mansukh hadits adalah
ilmu pengetahuan yang membahas tentang hadits yang datang kemudian
sebagai penghapus terhadap ketentuan hukum yang berlawanan dengan
kandungan hadits yang datang lebih dahulu.
Para muhadditsin memberikan ta’rif
ilmu itu secara lengkap ialah:
هوالعلم ااذ ي يبحث عن الاحاديث
المتعارضة التلى لايمكن التو فيق بينها من حيث الحكم على بعضها باء نه ناسخ, وعلى
بعضهاالاخر بانه منسوخ, فما ثبت تقد مه كان منسوخا وما تاخره كان ناسخا.
”Ilmu yang membahas hadis-hadis yang
tidak mungkin dapat dikompromikan dari segi hukum yang terdapat pada
sebagianya, karena ia sebagai nasikh (penghapus) terhadap hukum yang terdapat
pada sebagian yang lain, karena ia sebagai mansukh (yang dihapus). Karena itu
hadis yang mendahului adalah sebagai mansukh dan hadis terakhir
adalah sebagai nasikh.”[1]
- B. Urgensi
Banyaknya redaksi hadis yang
kontradiktif yang sulit dipahami maksudnya.
- C. Fungsi
Memahami kandungan hadis nabi.
- D. Obyek
Redaksi hadis yang kontradiktif yang
selevel kemaqbulanya.
- E. Metode
Ada dua metode yang dapat digunaka
yaitu
- Komparasi bir riwayah
- Penjelasan Rasul dari hadis tersebut/teks hadis lain.
- Penjelasan dari sahabat/rawi dari kitab syarah.
- Lafadz hadis yang menunjukkan waktu ex. Ibtida’;
qabliyah; ba’diyyah.
- Komparasi data historis.[2]
- F. Cara Mengetahui Nasikh wa
Mansukh Hadis
a)
Pernyataan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, seperti sabda beliau
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ
حَدَّثَنَا مُعْرِّفُ بْنُ وَاصِلٍ عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ عَنْ ابْنِ
بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَيْتُكُمْ عَنْ ثَلَاثٍ وَأَنَا آمُرُكُمْ بِهِنَّ نَهَيْتُكُمْ
عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا فَإِنَّ فِي زِيَارَتِهَا تَذْكِرَةً
وَنَهَيْتُكُمْ عَنْ الْأَشْرِبَةِ أَنْ تَشْرَبُوا إِلَّا فِي ظُرُوفِ الْأَدَمِ
فَاشْرَبُوا فِي كُلِّ وِعَاءٍ غَيْرَ أَنْ لَا تَشْرَبُوا مُسْكِرًا
وَنَهَيْتُكُمْ عَنْ لُحُومِ الْأَضَاحِيِّ أَنْ تَأْكُلُوهَا بَعْدَ ثَلَاثٍ
فَكُلُوا وَاسْتَمْتِعُوا بِهَا فِي أَسْفَارِكُمْ
(ABUDAUD – 3212) : Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin
Yunus telah menceritakan kepada kami Mu’arrif bin Washilah dari Muharib bin
Ditsar dari Ibnu Buraidah dari Ayahnya ia berkata, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Aku larang kalian dari tiga hal dan aku perintahkan
kalian tiga hal tersebut. Aku telah melarang kalian dari ziarah kubur, sekarang
lakukanlah karena di dalamnya terdapat peringatan. Aku telah melarang kalian
dari meminum beberapa minuman kecuali jika minuman tersebut berada dalam geriba
kulit. Minumlah dari segala bejana, tetapi jangan kalian minum sesuatu yang
memabukkan. Dan aku telah melarang kalian dari memakan daging kurban setelah
tiga hari, sekarang makan dan nikmatilah dalam perjalanan kalian!”
Dari hadis diatas diketahui bahwa
dahulu hukum ziyarah kubur adalah haram, kemudian memperbolehkan, bahkan dalam
riwayat lain nabi menyebutkan sisi positif ziyarah kubur yakni karena di dalam
ziyarah kubur banyak pelajaran yang bisa diambil, juga karena mengingatkan
kematian.
b)
Media kedua adalah perkataan dan penjelasan dari sahabat,contoh
أخبرنا إسحاق إبراهيم قال أنبأنا
إسماعيل وعبد الرزاق قالا حدثنا معمر عن الزهري عن عمر بن عبد العزيز عن إبراهيم
بن عبد الله بن قارظ عن أبي هريرةقال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول
توضئوا مما مست النار
Hadis diatas mansukh berdasarkan
hadis yang juga diriwayatkan al Nasa’i :
أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ مَنْصُورٍ
قَالَ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَيَّاشٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعَيْبٌ عَنْ مُحَمَّدِ
بْنِ الْمُنْكَدِرِ قَالَ سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ
: كَانَ آخِرَ الأَمْرَيْنِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ تَرْكُ الْوُضُوءِ
مِمَّا مَسَّتْ النَّار
Kedua redaksi hadith
menjelaskan tentang makanan yang disentuh api (misal: dipanggang), namun isi
dari kedua hadis tersebut bertentangan. Yang pertama menerangkan bahwa
Rasulullah SAW memerintahkan orang yang makan daging atau makanan lain yang
disentuh api untuk berwudhu terlebih dahulu sebelum melaksanakan ritual salat,
sedang hadis yang kedua menerangkan diperbolehkan salat setelah memakan makanan
yang disentuh api, disini diketahui bahwa hadis yang kedua memposisikan
diri sebagai Nasikh, sedang hadis pertama mansukh.
Cara yang kedua ini menurut ppara
ahli ushul harus diwajibkan adanya penjelasan bahwa dalam kronologisnya hadis
yang kedua datang setelah hadis yang pertama.
c)
Fakta sejarah, seperti hadits yang terdapat dalam kitabnya Imam Tirmidzi :
حدثنا محمد بن رافع النيسابوري ومحمود
بن غيلان ويحيى بن موسى قالوا اخبرنا عبد الرزاق عن معمر عن يحيى بن ابي كثير عن
ابراهيم بن عبد الله بن قارظ عن السائب بن يزيد عن رافع بن خديج عن النبي صلى الله
عليه وسلم قال: “افطر الحاجم والمحجوم”
Hadits diatas dimansukh oleh hadits
berikut yang juga diriwayatkan Imam Tirmidzi :
حدثنا بشر بن هلال البصري حدثنا عبد
الوارث بن سعيد حدثنا أيوب عن عكرمة عن بن عباس قال احتجم رسول الله صلى الله عليه
وسلم وهو محرم صائم
Kedua hadis ini berbicara tentang
bekam, hadits pertama berisi batalnya puasa antara orang yang membekam
dan orang yang berbekam, sedang hadis kedua menerangkan bahwa bekam tidak
membatalkan puasa.
Hadits tentang batalnya puasa antara
orang yang berbekam maupun orang yang membekam juga diriwayatkan oleh Imam Abu
Dawud dari jalur Shaddad. Imam syafi’i menerangkan bahwa hadits yang
diriwayatkan shaddad peristiwanya terjadi pada hari al fath (fathu
makkah) pada tahun 8 hijriyah, sedang hadits ibnu Abbas terjadi pada
haji Wada’ yang terjadi beberapa tahun setelah fathu
makkah yakni pada tahun 10 hijriyah, maka hadits yang
kedua menasakh hadits pertama.
d) Ijma’
ulama’; seperti hadits yang berbunyi :
حدثنا نصر بن عاصم الأنطاكي
حدثنا يزيد بن هارون الواسطي حدثنا ابن أبي ذئب عن الحارث بن عبد
الرحمن عن أبي سلمة عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله
عليه وسلم إذا سكر فاجلدوه ثم إن سكر فاجلدوه ثم إن سكر فاجلدوه فإن عاد
الرابعة فاقتلوه ,قال أبو داود وكذا حديث عمر بن أبي سلمة عن
أبيه عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم إذا شرب الخمر
فاجلدوه فإن عاد الرابعة فاقتلوه قال أبو داود وكذا حديث سهيل عن
أبي صالح عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم إنشربوا
الرابعة فاقتلوهم وكذا حديث ابن أبي نعم عن ابن عمر عن النبي
صلى الله عليه وسلم وكذا حديث عبد الله بن عمرو عن النبي صلى الله
عليه وسلم والشريد عن النبي صلى الله عليه وسلم وفي حديث الجدلي
عن معاوية أن النبي صلى الله عليه وسلم قال فإن عاد في الثالثة أو
الرابعة فاقتلوه
”Barangsiapa yang meminum khamr maka
cambuklah dia, dan jika dia kembali mengulangi yang keempat kalinya, maka
bunuhlah dia”.
Umar ibnul Khattab menjatuhkan
delapan puluh kali dera sebagai hukuman bagi peminum khomr , berdasarkan
musyawarah para sahabat, salah satunya yaitu sahabat Abdurrahman bin Auf.
Beliau mengatakan bahwa hukuman had yang paling ringan atau rendah adalah
delapan puluh kali dera. Umar akhirnya menyetujui pendapat tersebut dan
ditetapkan sebagai keputusan bersama, kemudian dikirimkan ke daaerah-daerah
antara lain Syam yang waktu itu penguasanya Khalid dan Abu Ubaidah.
Imam Nawawi mengatakan: ”Ijma’ ulama
menunjukkan adanya naskh terhadap hadits ini”.
Jika keempat hal ini tidak ditemukan
ketika terdapat suatu hadis yang kontradiksi maka menurut al Hazimi hal yang dilakukan
adalah mentarjih hadis tersebut.[3]
- G. Syarat-Syarat Nasakh
a)
Adanya mansukh (yang dihapus) dengan syarat bahwa hukum yang dihapus itu adalah
berupa hukum syara’ yang
bersifat ‘amali, tidak terikat ataudibatasi dengan waktu tertentu.
b)
Adanya mansukh bih (yang digunakan untuk menghapus) dengan syarat datangnya
dari syari’ (Rasulullah saw).
c)
Adanya nasikh (yang berhak menghapus), dalam kaitan ini yaitu Rasulullah saw.
d) Adanya
mansukh ‘anhu (arah hukum yang dihapus itu adalah orang-orang yang sudah akil
baligh atau mukallaf). Karena yang menjadi sasaran hukum yang menghapus atau
yang dihapus itu adalah tertuju pada mereka.
Sedangkan ‘Abd ‘Azhim al Zarqany
mengemukakan bahwa nasakh baru dapat dilakukan apabila :
a)
Adanya dua hukum yang saling bertolak belakang dan tidak dapat dikompromikan,
serta tidak diamalkan secara sekaligus dalam segala segi.
b)
Ketentuan hukum syara’ yang berlaku (menghapus) datangnya belakangan dari pada
ketetapan hukum syara’ yang diangkat atau dihapus.
c)
Harus diketahui secara meyakinkan perurutan penukilan hadits-hadits tersebut
sehingga yang lebih dahulu dinukilan ditetapkan sebagai mansukh dan yang
dinukilkan kemudaannya sebagai nasikh.[4]
- H. Kitab Rujukan
a)
An-Nasikh wal-Mansukh, karya Qatadah bin Di’amah As-Sadusi (wafat 118 H), namun
tidak sampai ke tangan kita.
b)
Nasikhul-Hadits wa Mansukhihi, karya ahli hadits ‘Iraq, Abu Hafsh Umar Ahmad
Al-Baghdadi, yang dikenal dengan Ibnu Syahin (wafat 385 H).
c)
Nasikhul-Hadits wa Mansukhihi, karya Al-Hafidh Abu Bakar Ahmad bin Muhammad
Al-Atsram (wafat 261 H), shahabat Imam Ahmad. Kitab ini terdiri dari tiga jilid
kecil, juz yang ketiga bisa ditemukan di dar al kutub al mishriyyah dengan
nomor 1587.
d)
Al-I’tibar fin-Nasikh wal-Mansukh minal-Atsar, karya Imam Al-Hafidh An-Nassabah
Abu Bakar Muhammad bin Musa Al-Hazimi Al-Hamadani (wafat 584 H).
e)
An-Nasikh wal-Mansukh, karya Abul-Faraj Abdurrahman bin ‘Ali, atau yang lebih
dikenal dengan nama Ibnul-Jauzi.[5]
Referensi
30/04/2013.
Nurun Najwah, Hand Out Ulum
Al-Hadis III
http://aam-ezaam.blogspot.com/2012/02/nasikh-mansukh.html diakses tanggal
30/04/2013.
[2]
Nurun Najwah, Hand Out Ulum Al-Hadis III
ILMU NASIKH WA MANSUKH
HADITS
Pengertian Ilmu Nasikh wa Mansukh Hadits
Naskh
menururt bahasa mempunyai dua makna, menghapus dan menukil. Sehingga
seolah-olah yang menasakh itu telah menghapuskan yang mansukh, lalu memindahkan
atau menukilkannya kepada hukum yang lain. Sedangkan menurut istilah adalah “pengangkatan
yang dilakukan oleh penetap syariat terhadap suatu hukum yang datang terdahulu
dengan hukum yang datang kemudian.”[1]
Ilmu
Nasikh wa Mansukh hadits adalah ilmu pengetahuan yang membahasa tentang
hadits yang datang terkemudian sebagai penghapus terhadap ketentuan hukum
yang berlawanan dengan kandungan hadits yang datang lebih dahulu disebut ilmu Nasikh
wa’l-Mansukh.
Para muhadditsin memberikan ta’rif ilmu itu secara lengkap ialah:
هوالعلم ااذ ي
يبحث عن الاحاديث المتعارضة التلى لايمكن التو فيق بينها من حيث الحكم على بعضها
باء نه ناسخ, وعلى بعضهاالاخر بانه منسوخ, فما ثبت تقد مه كان منسوخا وما تاخره
كان ناسخا.
”Ilmu yang membahas hadis-hadis yang tidak mungkin dapat dikompromikan dari
segi hukum yang terdapat pada sebagianya, karena ia sebagai nasikh (penghapus)
terhadap hukum yang terdapat pada sebagian yang lain, karena ia sebagai mansukh
(yang dihapus). Karena itu hadis yang mendahului adalah sebagai mansukh
dan hadis terakhir adalah sebagai nasikh.”[2]
Ilmu ini sangat bermamfaat untuk pengamalan hadits bila ada dua hadits maqbul
yang tanaqud yang tidak dapat dikompromokan atau dijama’. Bila dapat
dikompromokan, hanya sampai pada tingkat Mukhtalif al-Hadits, kedua
hadits maqbul tersebut dapat diamalkan. Bila tidak bisa dijama’
(dikompromokan), hadits maqbul yang tanakud tersebut di-tarjih
atau di-nasakh.
Bila diketahui mana diantara kedua hadits yang di-wurud-kan lebih dulu
dan yang di-wurud-kan kemudian, wurud kemudian (terakhir) itulah
yang diamalkan, sedangkan yang lebih dulu tidak diamalkan. Yang belakangan
disebut nasikh, yang duluan disebut mansukh. Kaidah yang
berkaitan dengan nasakh, antara lain berupa cara mengetahui nasakh,yakni
penjelasan dari Rasulullah Saw. Sendiri, keterangan Sahabat dan dari tarikh
datangnya matan yang dimaksud.[3]
Cara mengetahui Nasikh wa Mansukh Hadits
Nasikh dan Mansukh dalam hadits dapat diketahui dengan salah-satu dari
beberapa hala berikut ini:
1. Pernyataan dari Rasulullah, seperti sabda beliau,
كنت نهيتكم عن
زيادة القبور فزوروها فانها نذكر الاخره.
“Aku dahulu telah melarang kalian untuk ziarah kubur, maka (sekarang)
lakukanlah ziarah, karena dapat mengingatkan akhirat.”
2.
Perkataan Sahabat.
3. Mengetahui sejarah seperti hadits Syaddad bin Aus,
افطر الحا جم
والمحجوم.
“Orang yang membekam dan yang dibekam batal puasanya.” Dinasakh oleh hadis Ibnu Abbas, “Bawasanya Rasulullah berbekam sedangkan
beliau sedang Ihram dan puasa.”
Dalam salah satu jalur sanad Syaddad dijelaskan bahwa hadis itu diucapkan pada
tahun 8 hijriah ketika terjadi pembukaan kota Makkah, sedangkan Ibnu Abbas
menemani Rasulullah dalam keadaan ihram pada saat haji wada’ tahun 10 hijriyah.
4. Ijma’ ulama. Seperti hadits yang berbunyi,
من شرب الخمر فا
جلد وه فان عاد فيْ الرابعة فقتلوه.
“Barang siapa yang minum khamar maka cambuklah dia, dan jika kembali mengulangi
yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia.” Imam An-Nawawi berkata, “Ijma’ ulama menunjukan adanya naskh terhadap
hadits ini.” Dan ijma’ tidak bisa dinasakh dan tidak bisa menasakh, akan tetapi
menunjukan adanya nasikh.[4]
Syarat – Syarat
Nasakh
1. Adanya mansukh (yang dihapus) dengan
syarat bahwa hukum yang dihapus itu adalah
berupa hukum syara’ yang
bersifat ‘amali, tidak terikat atau dibatasi dengan waktu tertentu.
2. Adanya mansukh bih (yang digunakan
untuk menghapus) dengan syarat datangnya dari syari’ (Rasulullah saw).
3.
Adanya nasikh
(yang berhak menghapus), dalam kaitan ini yaitu Rasulullah saw.
4. Adanya mansukh ‘anhu (arah hukum yang
dihapus itu adalah orang-orang yang sudah akil baligh atau mukallaf). Karena
yang menjadi sasaran hukum yang menghapus atau yang dihapus itu adalah tertuju
pada mereka.
Sedangkan ‘Abd ‘Azhim al Zarqany mengemukakan bahwa nasakh baru dapat
dilakukan apabila :
1. Adanya dua hukum yang saling bertolak
belakang dan tidak dapat dikompromikan, serta tidak diamalkan secara sekaligus
dalam segala segi.
2. Ketentuan hukum syara’ yang berlaku
(menghapus) datangnya belakangan dari pada ketetapan hukum syara’ yang diangkat
atau dihapus.
3. Harus diketahui secara meyakinkan
perurutan penukilan hadits-hadits tersebut sehingga yang lebih dahulu dinukilan
ditetapkan sebagai mansukh dan yang dinukilkan kemudaannya sebagai nasikh.
Faedah/Pentingnya Ilmu Nasikh wa Mansukh Hadis
Mengetahui ilmu nasikhwa mansukh adalah termaksud kewajiban yang penting
bagi orang-orang yang memperdalam ilmu-ilmu syariat. Karena seorang pembahas
ilmu syariat tidak akan memetik hukum dari dalil-dalil nash, dalam kaitan ini
adalah hadits, tanpa mengetahui dalil-dalail nash yang sudah dinasakh dan
dalil-dalil yang menasakhnya. Atas dasar itulah al-Hazimiy berkata: “Ilmu ini
termaksud sarana penyempurnaan ijtihad, sebab sebagaimana diketahui bahwa
rukun utama didalam melakukan ijtihad itu ialah adanya kesanggupan untuk
memetik hukum dari dalil-dalil naqli (nash) dan menukuil dari dalil-dalil naqli
itu haruslah mengenal pula dalil yang sudah dinasakh atau dalil yang
menasakhnya.
Memahami
kitab hadits menurut yang tersurat adalah mudah dan tidak banyak mengorbankan
waktu, akan tetapi yang menimbulkan kesukaran adalah menginstimbatkan hukum
dari dalil-dalil yang tidak jelas penunjuknya. Diantara jalan untuk
mentahqiqkan (mempositifkan) ketersembunyian arti yang tidak tersurat itu ialah
mengetahui mana dalil yang terdahulu dan mana pula dalil yang terkemudian dan
lain sebagainya dari segi makna.
Perhatian para ulama terhadap Ilmu Nasikh wa Mansukh
Para ulama banyak yang menaruh perhayian yang khusus dalam ilmu ini. Imam
Syafi’i adalah termaksud ulama yang mempunyai keahlian dalam ilmu Nasikh wa
Mansukh. Hal itu ketahui berdasarkan wawancara imam Ahmad dengan Ibnu Warih
yang baru saja datang dari Mesir. Kata Imam Ahmad: “Apakah telah kamu kutip
tulisan-tulisan ImamSyafi’i?” “Tidak” jawabnya. “Celakalah kamu”, bentak imam
Ahmad, “kamu tidak dapat mengetahui dengan sempurna tentang mujmal dan mufassal
seta nasikh dan mansukhnya suatu hadis sebelum kita semua ini tunduk berguru
dengan Imam Syafi’i.”
Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib r.a. pernah bertemu dengan seorang qadli,
lalu ditanyalah sang qadli itu. “Apakah kamu mengenal nasikh dan mansukhnya
suatu hadits?” “Tidak”, jawab qadli itu. “Celakalah dirimu dan membuat pula
celaka orang lain”, berikutnya.
Kata Az-Zuhry: “Mengetahui nasikh dan mansukhnya suatu hadits adalah
merupakan usaha yang memeyahkan dan menghabiskan energi para puqoha.
Kitab-kitab Nasikh dan Mansukh
Sebenarnya ilmu nasikh dan mansukh sudah ada sejak pendewanan hadis pada
awal abad pertama, akan tetapi belum muncul dalam bentuk ilmu yang berdiri
sendiri. Kelahiranya sebagai ilmu dipromotori oleh Qatadah bin Di’amah
As-Sudusy (61-118) H.) dengan tulisan beliau yang diberi judul “An-Nasikh
wa’l-Mansukh”. Hanya perlu disayangkan bahwa kitab tersebut tidak bisa kita
menfaatkan, lantaran tiada sampai kepada kita.
Pada
tahun-tahun yang berada diantara abad kedua dan ketiga, bangunlah ulama-ulama
untuk menulis kitab Nasikh wa’l-Mansukh. Diantara sekian banyak kitab nasikh
yang masyhur diabad ini ialah kitab Nasikhu’l-Hadits wa Mansukhuhu”,
buah karya Al-Hapidh Abu Bakar Ahmad bin Muhammad Al-Atsram (261 H), rekan Imam
Ahmad. Kitab yang terdiri dari tiga juz kecil-kecil itu juz ketiganya
didapatkan di Daru’l-Kutubi’l-Mishriyah. Kitab “Nasukhu’l-Hadits wa
Mansukhuhu”, karya muhaddits Iraq, Abu Hafsin bin Ahmad Al-Bagdady, yang
lebih populer dengan nama kurniyahnya Ibnu Syahin (297-385) adalah kitab nasikh
dan mansukh abad keempat yang sampai dan dapat kita manfaatkan. Kitab ini
terdiri dari dua buah naskah tulisan tangan (manuskrip). Yang sebuah berada di
Perpustakaan Ahliyah (nasional) di Paris dan yang sebuah lagi disaimpan di
Perpustakaan Escorial (Spanyol)
Kemudian
setelah itu keluarlah kitab “Al-I’tibar fi-Nasikh wa’l-Mansukh
mian’l-Atsar”. Karya Al-Hafidh Abu Bakar Muhammad bin Musa Al-Hazimy
(548-584 H.). beliau memanfaatkan usaha ulama-ulama yang terdahulu dalam ilmu
ini, sehingga kitab yang disusunya sudah mencangkup seluruh buah pikiran
ulama-ulama itu. Sistematisnya diatur menurut bap-bap fiqhiyah. Pada setiap bap
fiqhiyah dikemukakan hadits-hadits yang nampaknya berlawanan itu dengan tidak
mengabaikan pendapat-pendapat dari para ulama dan sekaligus nasikh dan
mansukhnya. Tidak sedikit pula kita dapatkan pendapat beliau sendiri dalam
merajihkan suatu pendapat atas pendapat lain. Pada tahun1319 H. Kitab itu
dicetak di India, kemudian pada tahun 1346 H. Dicetak di Kairo dan pada tahun
yang sama dicetak di Halab dengan tahqiq Syaikh Raghib Ath-Thabakhi al-Halaby.
Bentuk Nasakh Yang Berkaitan Dengan Hadits
1. Nasakh Hadis Dengan Hadis
Ulama Usul al-Fiqh sepakat mengatakan hadis boleh dinasakhkan dengan hadis,
iaitu
mutawatir dengan mutawatir, mutawatir dengan masyhur dan
mutawatir dengan ahad. Contohnya ialah hadis larangan menziarahi kubur dan
menyimpan daging korban. Larangan-larangan ini pada mulanya thabit dengan hadis
dan hadis sendiri yang membenarkannya. Oleh itu, nasakh ini dikatakan nasakh
hadis dengan hadis.[5]
2. Nasakh Hadis Dengan al-Qur’an
Kebanyakan ulama termasuk ulama Zahiriyyah mengakui adanya nasakh hadis dengan
al-Qur’an. Walau bagaimanapun, Imam al-Syafi’i tidak menerimanya. Jumhur
berhujah bahawa nasakh seperti ini memang berlaku dengan mengemukakan contoh
perpindahan kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka`bah. Sembahyang dengan mengadap ke
arah Baitul Maqdis sememangnya thabit tetapi dengan hadis bukan al-Qur’an.
Al-Hazimi mengemukakan satu riwayat daripada al-Barra’ bin `Azib:
ان
رسول الله صلى الله عليه وسلم كان اول ماقد المد ينة نزل على احداده من الاء
نصاروانه صلى قبل بيت المقد س سته عشر شهرا اءوسبعه عشر شهر.
Daripada al-Barra’ bin `Azib bahawa perkara yang
dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. apabila sampai di Madinah ialah menemui datuk
neneknya dari kalangan Ansar dan baginda bersembahyang mengadap ke arah Baitul
Maqdis selama enam belas bulan atau tujuh belas bulan.
Hadis ini telah dinasakhkan oleh ayat berikut:
Sesungguhnya Kami sering melihat mukamu mengadah ke
langit, maka sesungguhnya Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai.
Palingkanlah mukamu kr arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada,
palingkanlah mukamu ke arahnya. (Surah al-Baqarah: 144)
3. Nasakh al-Qur’an Dengan Hadis
Jumhur ulama termasuk Zahiriyyah mengharuskan nasakh hadis dengan al-Qur’an
sementara Imam al-Syafie menegahnya. Bagaimanapun golongan Hanafiyyah hanya
mengharuskan nasakh al-Qur’an dengan hadis mutawatir dan masyhur kerana ianya
tersebar luas di kalangan manusia. Golongan yang mengharuskannya berhujah
dengan ayat wasiat kepada ibu bapa dan kaum kerabat.
Diwajibkan ke atas kamu, apabila seorang di antara kamu
kedatangan tanda-tanda maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak berwasiat
untuk ibu bapa dan kaum kerabat secara ma`ruf, ini adalah kewajipan atas
orang-orang yang bertakwa. (al-Baqarah:180)
Ayat ini telah dimansukhkan dengan hadis:
عن
ابي امامة, قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسم يقو ل: " ان الله قد أعطى
كل ذي حق حقه, فلا وصية لوارث" ابو داود
Daripada Abu Umamah, katanya: “Saya mendengar Rasulullah
s.a.w. bersabda: Sesungguhnya Allah s.w.t. telah menentukan kepada setiap orang
yang mempunyai hak akan hak masing-masing. Dengan itu, maka, tidak ada wasiat
untuk waris (orang yang berhak menerima pusaka).”
Tetapi golongan yang tidak mengharuskan bentuk nasakh ini menjawab bahawa ayat
wasiat itu sebenarnya dinasakhkan oleh ayat mawarith
yaitu ayat 11 surah al-Maidah sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibn Abbas.[6]
4. Apakah Semua Hadis Yang Dimansukhkan Itu
Dipersetujui Oleh Semua
Oleh kerana penentuan nasakh merupakan perkara yang diijtihadkan, tentu sekali
ada perbedaan pendapat ulama dalam menentukan sesuatu hadis itu dimansukhkan
ataupun tidak. Tidak semua hadis yang dikatakan sebagai telah mansukh
dipersetujui oleh semua pihak. Walau bagaimanapun terdapat juga, hadis yang
disepakati oleh ulama sebagai mansukh. Dalam hal ini, Dr Yusuf al-Qaradhawi
menyebut: “Banyak hadis yang didakwa sebagai telah dimansukhkan tetapi setelah
dikaji ia tidaklah dinasakhkan. Ada hadis yang berbentuk `azimah dan ada pula
yang berbentuk rukhsah. Kedua bentuk ini mempunyai hukum masing-masing pada
tempatnya. Terdapat sesetengah hadis yang berkaitan dengan keadaan tertentu dan
hadis yang lain pula berkaitan dengan keadaan yang lain, maka perbedaan keadaan
itu bukan menunjukkan nasakh. 18]
Contoh Hadits Nasikh dan Mansukh
1.
Memakan makanan yang dimasak membatalkan whudu
Sebahagian ulama berpendapat wajib berwuduk kerana memakan makanan yang dimasak
apabila hendak melaksanakan Sholat. Sebagian yang lain mengatakan hukum itu
sudah tidak ada kerana ada hadis yang menasakhkannya. Golongan yang pertama
berhujah dengan hadis yang dikeluarkan oleh Imam Muslim dari Zaid bin Tshabit:
زيد بن ثابت قال:
سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم
يقول"
الوضوء مما مست النار" (مسلم كتاب
الحيض باب الوضوء مما مست النار
(
Wajib berwuduk
kerana memakan makanan yang dimasak.
Hadis Abu
Hurairah:
أن
عبدالله بن إبراهيم بن قارظ وجد أبا هريرة يتوضأ على المسجد.
فقال: قال:
إنما أتوضأ
من أثوار أقط أكلتها. لأني سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول"
توضؤوا مما
مست النار"(مسلم كتاب الحيض باب الوضوء مما مست النار)
Sesungguhnya
Abdullah bin Ibrahim bin Qarit mendapati Abu Hurairah sedang berwuduk
dekat dengan masjid, lalu beliau berkata: “Sebenarnya aku berwuduk kerana
beberapa potong keju yang telah aku makan kerana aku mendengar Rasulullah
s.a.w. bersabda: “Hendaklah kamu berwuduk setelah memakan makanan yang dimasak”
Imam al-Tirmizi menyebutkan dalam bab ini terdapat beberapa hadis yang
diriwayatkan daripada Ummu Habibah, Ummu Salamah, Zaid bin Thabit, Abu Talha,
Abu Ayyub dan Abu Musa. Sebagian ulama berpendapat whudu dimestikan apabila
memakan makanan yang telah dimasak.[7]
Menurut al-Hazimi, antara ulama yang berpandangan demikian ialah Ibn Umar,
Talhah, Anas bin Malik, Abu Musa, `Aishah, Zaid bin Thabit, Abu Hurairah, Abu
`Izzah al-Hazali, Umar bin Abdul Aziz, Abu Mijlaz, Abu Qilabah, Yahya bin
Ya`mar, Hasan al-Basri dan al-Zuhri. Tetapi kebanyakan ahli ilmu dan para
fuqaha berpendapat tidak perlu berwuduk kerana memakan makanan yang dimasak.
Mereka menganggap itu adalah perkara yang terakhir yang dilakukan oleh
Rasulullah s.a.w.[8]
Hadis-hadis
yang menjadi hujah mereka ialah:
Dari Ibn Abbas:
“Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. telah memakan kaki kambing yang hadapan,
kemudian sholat tanpa mengambil wuduk.”
Hadis `Amr bin
Umayyah al-Dhamri:
Bahwa dia
melihat Rasulullah s.a.w. memotong kaki kambing yang hadapan yang dimakannya,
kemudian sholat tanpa mengambil wuduk.
Hadis Maimunah,
isteri Rasulullah s.a.w.:
Dari Maimunah,
isteri Rasulullah s.a.w. katanya: “Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. telah memakan
kaki kambing yangdihadapanya dekat dengan beliau, kemudian sholat tanpa
mengambil wuduk.”
Dari Jabir
katanya: Perkara terakhir daripada Rasulullah s.a.w. ialah tidak berwuduk
kerana memakan makanan yang dimasak dengan api.
KESIMPULAN
Ilmu nasikh dan mansukh hadits adalah ilmu pengetahuan yang membahas
tentang hadits yang datang terkemudian sebagai penghapus terhadap ketentuan
hukum yang berlawanan dengan kandungan hadits yang datang lebih dahulu.
Ilmu nasikh dan mansukh sudah ada sejak periode hadits pada awal abad
pertama, akan tetapi belum muncul dalam bentuk ilmu yang berdiri sendiri.
Syarat-syarat nasakh yaitu:
· Adanya mansukh (yang dihapus)
· Adanya mansukh bih (yang digunakan
untuk menghapus)
· Adanya nasikh (yang berhak menghapus)
· Adanya mansukh ‘anhu (arah hukum yang
dihapus itu adalah orang-orang yang sudah akil baligh atau mukallaf)
No comments:
Post a Comment