BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Fenomena perubahan
sosial dewasa ini menggambarkan dan menjelaskan kepada kita
bahwa agama menjadi salah satu faktor perubahan sosial itu
sendiri.Agama sebagai hasil kebudayaan, yang ada, hidup dan berkembang
dalam masyarakat memiliki peranan penting dalam perubahan
sosial tersebut.Perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat
merupakan hal yang tidak bisa terlepas dari keterikatannya dengan
adanya agama. Dalam hal ini, menggagas pemikiran tentang hubungan
antara agama dan perubahan sosial bertitik-tolak dari
pengandaian bahwa perubahan sosial merupakan suatu fakta yang sedang
berlangsung, yang diakibatkan oleh kekuatan-kekuatan yang sebagian besar berada
diluar kontrol kita, bahwa tidak ada kemungkinan sedikitpun untuk
menghentikannya. Di sini, disposisiagama, pada satu sisi dapat menjadi
penentang perubahan dan pada sisi lain dapat menjadi pendorong adanya
perubahansosial.Perubahan sosial dalam masyarakat atau komunitas manusia
tertentu dapat berakibat atau berdampak positif maupun negatif.[1]
pelapisan
sosial adalah tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak & kewajiban,
kewajiban dan tanggung jawab nilai sosial & pengaruhnya di antara anggota
masyarakat. Dan agama muncul untuk menghapuskan
ketidakseimbangan yang terjadi, serta pengaruhnya terhadap prilaku
ekonomi.
Berkenaan
dengan hal tersebut, kami menyusun makalah ini dengan tujuan mendiskusikan
berbagai persoalan yang berkaitan dengan yang di bahas dalam makalah untuk
dapat diketemukanpenyelesaiannya.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Pengertian Agama Sebagai Kausal variable
2.
Pengertian Agama dan Perubahan
3.
Bagaimana Peranan dan
Fungsi Agama dalam Masyarakat
4.
Bagaimana Hubungan Agama dan
Perilaku Ekonomi
C. TUJUAN PEMBAHASAN
1.
Untuk mengetahui Pengertian Agama Sebagai Kausal variable
2.
Untuk mengetahui Pengertian Agama dan Perubahan
3.
Untuk mengetahui Bagaimana Peranan dan
Fungsi Agama dalam Masyarakat
4.
Unuk mengetahui Bagaimana Hubungan Agama dan
Perilaku Ekonomi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Agama Sebagai
Kausal variabel
Agama sebagai
kausal variable secara sederhana mengandung pengertian agama sebagai sebab
musabab terjadinya suatu perubahan dalam masyarakat.[1]
Secara sosiologis munculnya semangat perubahan sosial di Indonesia,
biasanya lebih difokuskan pada dinamika sosial yang berkembang, meskipun pada
gilirannya hampir semua aspek dapat pula menjadi pemicu arah perubahan itu
sendiri. Bahkan sebagaian sosiolog sependapat, bahwa perubahan di semua sektor
merupakan keharusan yang tidak dapat ditawar dan ditunda-tunda, kendatipun
dalam proses perjalanannya diketemukan kendala-kendala yang tidak ringan. Sebut
saja, mulai dari perubahan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya,
keamanan, agama dan berbagai macam yang menyangkut hajat hidup rakyat
Indonesia[2]
Ajaran agama memiliki
pengaruh yang besar dalam penyatuan persepsi kehidupan masyarakat tentang semua
harapan hidup.(Hamka,1989:13)[3]. Kehadiran agama Pada satu sisi,
secara fungsional agama mempunyai watak sebagai “perekat sosial”,
memupuk solidaritas sosial, toleran, dan seperangkat peranan yang memelihara
kestabilan sosial (harmoni). Di sisi lain,agama juga mempunyai
kecenderungan atomisasi (memecah-belah), disintegrasi, dan intoleransi. Secara
teoritis-sosiologis, hal ini dapat juga difahami dari dua bentuk antagonisme
dalam agama. Pertama, ketegangan atau konflik yang berkembang di kalangan
umat suatu agama (intern). Kedua, ketegangan atau konflik yang
terjadi antar umat beragama (ekstern).
Sosiolog
seperti Robertson Smith dan Emile Durkheim memandang
kemunculan agama secara positif sejalan dengan perkembangan
masyarakat. Agama bagi mereka bukanlah persoalan individu melainkan
representasi kolektif dari masyarakat. Mereka menekankan
bahwa agamapertama-tama adalah aksi bersama dari masyarakat dalam bentuk
ritual-ritual, upacara keagamaan, larangan-larangan praktis dari pada keimanan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masyarakat secara positif berperan dalam
terbentuknya atau munculnyaagama.
Di
lain pihak pemikir seperti Marx memandang kemunculan agama sebagai
reaksi manusia atas keadaan masyarakat yang ‘rusak’.
Jon
Elstern menyatakan bahwa kenyataan masyarakat yang terbagi dalam kelas-kelas
sosial mendorong sekelompok orang dari kelas yang tertindas untuk melarikan
diri dari keadaan struktural masyarakat yang represif dan kemudian melarikan
impian dan harapannya kepada agama. Agama adalah “…usaha manusia
untuk menemukan makna dan arti kehidupan, di tengah derita yang menimpa wujud
kasadnya. Keterkaitan yang
demikian erat antara agama dan masyarakat ini berdampak pada
pemanfaatan fungsi kolektif agama untuk menggerakkan masyarakat
demi perubahan sosial atau juga demi tujuan tertentu yang entah
menguntungkan atau merugikan masyarakat itu sendiri.
Untuk
beberapa kasus di Indonesia, semisal keberadaan agama Islam dengan
kecenderungan dan intensitas perubahannya, dapat ditelaah melalui pengamatan
yang serius, baik melalui umatnya maupun kiprah institusi-institusinya dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Selintas terkesan kegairahan
menghayati agamameningkat, terutama di kalangan masyarakat perkotaan yang
nota-bene terdidik. Atau paling tidak pendidikannnya relatif sudah mapan.
Kenyataan ini tidak memberikan jaminan dan mungkin masih diragukan, apakah ini
mencerminkan bertumbuhnya kekuatan agama (Islam) atau sebaliknya? Sebab
hal ini berbarengan dengan indikasi krisis kepercayaan sebagian umat Islam
terhadap lembaga-lembaga politik (parpol) yang
bernuansa agama (Islam) dan adanya “tekanan-tekanan” terhadap para
penganutnya.
Dari
kenyataan demikian, nampak adanya – dapat disebut “ideologi” — yang dapat
menyaingi keberadaan agama (Islam). Indikasi ini lebih diperkuat dengan cara
menghayati agama, di mana penghayatan dirasakan cukup apabila sudah
melaksanakan kewajiban pribadinya dalam beribadah. Sedangkan tanggung jawab
sosialnya kurang mendapat perhatian. Padahal semestinya
ajaran agama bukan sekedar ibadah individual kepada Tuhan akan tetapi
kewajiban kerja kemanusiaan atau amal shaleh dalam agama (Islam)
lebih ditekankan.
Merujuk
pada perspektif di atas, memang perubahan sosial di Indonesia sampai
sekarang pun seiring dengan ritme perjalanan sejarahnya, yakni meliputi
bidang agama, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan berbagai bidang
kehidupan yang lain. Perwujudan yang kongkrit dari perubahan itu, adalah berupa
upaya pembangunan yang terencana, termasuk di dalamnya sumber daya manusia.
Tetapi dalam implementasinya, proses pembangunan tidak jarang menimbulkan
disorientasi, seperti alienasi (keterasingan dan kerenggangan) dan dehumanisasi
(“penjungkirbalikan” nilai-nilai kemanusiaan) bahkan konflik horisontal pun
yang tak kunjung selesai.
Hal
ini sejalan dengan pandangan Faisal Ismail (2001:239), bahwa alienasi tersebut
menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia
dengan alam sekitarnya.[3]
Semua itu, akibat dari pola pembangunan yang lebih memprioritaskan aspek fisik
atau kebendaan semata. Dehumanisasi semakin marak – ekses dari proses
pembangunan yang mementingkan praktis-pragmatis di atas nilai-nilai
kemanusiaan. Manusia tidak lebih dari obyek pembangunan ketimbang subyek
pembangunan.
Kenyataan
ini, pada gilirannya dapat menciptakan semangat penolakan dan perlawanan dari
pihak yang merasa dimarginalkan. Teori sosiologi mendeskripsikan bahwa semakin
kuatnya tekanan tehadap keberadaan kelompok tertentu, maka akan semakin
mempercepat munculnya semangat militansi untuk mempertahankan eksistensinya.[4]
Begitu halnya di Indonesia, semakin represif para penguasa (semisal di era
rezim Orba) membatasi aktivitas umat Islam, yang pada gilirannya semakin tumbuh
subur munculnya aliran-aliran yang bernuansa radikalisme. Perubahan yang
dihendaki oleh kelompok radikal keagamaan, biasanya cenderung revolusioner dan
mendasar. Mereka beranggapan, bahwa dengan merubah secara mendasar seluruh
aspek kehidupan manusia dan sekaligus melawan dari segala bentuk penindasan dan
ketidakadilan, adalah sesuatu perwujudan kewajiban religius yang harus
dilaksanakan.
B. Agama dan
Perubahan
Pada
hakikatnya seluruh agama menghendaki adanya perubahan dalam
setiap kehidupan manusia. “Agama” dan “Perubahan” merupakan dua entitas yang
seperti berdiri masing-masing. Namun, belum tentu setiap dua entitas atau
lebih, adalah sesuatu yang berbeda atau bahkan berlawanan.[5]
Kemungkian saja dua entitas itu saling melengkapi ( complementary), dan boleh
jadi saling mensifati satu sama lain. Bisa juga, “agama” dan “perubahan”
dipahami sebagai hal yang overlapping. Artinya, “perubahan” dalam pandangan
sebagian kalangan, justru dianggap sebagai inti ajaranagama. Sebagian pengiat
sosiologi dan sosiologi agama, seperti Ibnu Khaldun, Max Weber, Emile
Durkheim, Peter L.Berger, Ali Syariati, Robert N.Bellah, dan yang lainnya
menyiratkan pandangannya tentang hubungan antaraagama dan perubahan
sosial.
Makna
“perubahan” kemudian dirumuskan oleh agama setidaknya Islam, sebagai
keharusan universal – meminjam istilah Islam sunnnahtullah – agar dapat merubah
dari kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, ketertindasan dan dari berbagai
macam yang bersifat dehumanisasi menuju terwujudnya masyarakat/umat yang berprikemanusian
dan berperadaban. Paling tidak, agama mengajarkan nilai-nilai seperti
itu, selain doktrin-doktrin yang bersifat ritual. Sebab, dapat dibayangkan
apabila kehadiran agama di tengah-tengah hingar-bingarnya akselerasi
kehidupan manusia tidak dapat menawarkan semangat perubahan, maka
eksistensi agama akan menjadi pudar. Dengan kata lain, kalau sudah
demikian, tidak mustahil agamaakan ditinggalkan oleh umatnya dan boleh
jadi belakangan menjadi “gulung tikar” karena dianggap sudah tidak up to date.
Oleh
karena itu, diperlukan pemahaman diskursus “agama” di satu sisi, dan
“perubahan” di sisi lain — sebagai bagian satu entitas yang tak dapat
dipisahkan — sebab yang satu mensifati yang lain. “Perubahan” berfungsi sebagai
sifat “kecenderungan”, “titik tekan”, atau “melingkupi” keberadaanagama.
Ilustrasi ini dapat diambil contoh dari berbagai peristiwa di belahan dunia
tentang perubahan sosialyang diakibatkan ekses dari agama, seperti,
gerakan Protestan Lutheranian, revolusi Islam Iran, atau kasus bom Bali di
Indonesia.
Identifikasi
di atas tidak hanya di fokuskan pada perubahan yang berorientasi progress (arah
kemajuan) semata, tetapi ke arah regress (kemunduran) pun menarik untuk
dijadikan contoh. Memang tidak selamanya perubahan yang diakibatkan sepak terjang agama dapat
berdampak kemajuan peradaban bagi manusia. Tidak sedikit perubahan yang
mengarah pada kemunduran (regress) sebuah peradaban bangsa tertentu — yakni
seperti terjadinya perang Salib di masa lalu (antara Islam dan Kristen) atau konflik-konflik
yang mengatasnamakanagama.
Sedangkan perubahan yang
mengarah pada kemajuan (progress) peradaban manusia, posisi agama pun
memberikan kontribusi yang sangat besar. Denganagama, manusia dapat menebarkan
perdamaian dan cinta kasih di antara sesama, optimis dalam menatap masa depan,
menciptakan alat-alat teknologi untuk peningkatan kesejahteraan, menegakkan
keadilan, sekaligus pemihakan terhadap golongan lemah. Tanpa itu, dapat
dipastikan semakin lama sesuai dengan tuntutan zaman,agama akan
ditinggalkan oleh pemeluknya dan pada akhirnya “gulung tikar” seperti yang di
alami olehagama–agama Mesir kuno. Meskipun acap kali tidak mudah untuk
mensosialisasikan agama sebagai bagian dari spirit
proses perubahan sosial.
C. Peranan
dan Fungsi Agama dalam Masyarakat
Beberapa
contoh kasus di Indonesia yakni, perubahan sosial yang dilandasi oleh
semangat keagamaan seringkali menghadirkan pro-kontra di kalangan masyarakat.
Sebagian masyarakat beranggapan, bahwa agama semestinya banyak
mengambil peran dalam berbagai aspek, terutama dalam rangka pengandalian
masyarakat (social control).[6]
Mereka berdalih, bahwa agamamenjadi bagian yang tak terpisahkan dari
berbagai aktivitas kehidupan sosial di Indonesia. Kenapa? Sebab mayoritas
rakyat Indonesia adalah beragama. Kemudian masalah berkembang,
yakniagama mana yang layak menjadi dominan mempengaruhi pola prilaku
masyarakat? Pernyataan terakhir ini, dapat didiskusikan dalam konteks logika
kekuasaan dengan lebih intens.
Sementara
bagi sebagian masyarakat yang tidak menghendaki agama hadir di
berbagai moment, beranggapan, agamaadalah urusan privat dan sangat
personal. Urusan yang berkaitan dengan persoalan seperti, politik, ekonomi,
budaya, dan semua yang ada kaitannya dengan publik, maka tidak menjadi
kemestian agama dilibatkan, apalagiagama tertentu.[7]
Semisal, kasus RUU APP, poligami dan lain sebagianya, merupakan potret fenomena
komunitas yang berpaham perlunya pemisahan antara urusan agama pada
satu sisi, dan urusan sosial di sisi lain. Komunitas ini berpendapat, untuk
menjaga keutuhan bangsa tidak diperlukan kehadiranagama apapun dalam
konstelasi pembangunan bangsa. Apalagi Indonesia menurut mereka, tidak mengenal
paham teokrasi ( negaraagama).
Yang
menjadi masalah kemudian adalah, apakah keberadaan agama cukup kita
hadirkan hanya dalam urusan yang sifatnya privat/personal dan domestik. Dengan
begitu, jargon keutuhan bangsa adalah harga mati dan mutlak harus dikedepankan
ketimbang menjadikanagama tertentu sebagai pedoman atau norma pergaulan
sosial. Ataukah dengan menghadirkan agama sebagai landasan norma
bernegara dan berkebangsaan dapat menjamin akan adanya ketertiban masyarakat
pada umumnya. Untuk memastikan survival-nya di antara kedua paham ini,
sebetulnya lebih ditentukan oleh “seleksi alam”, artinya, paham mana yang dapat
menjamin ketertiban dan kelangsungan hidup masyarakat pada umumnya dan paham
mana yang hanya sebatas psedo-ideologi semata.
Dalam
konteks pergolakan politik di Indonesia, belakangan ini banyak mengalami
perubahan yang sangat signifikan. Semenjak pasca Orba, keberadaan partai
politik yang bernuansa agama bermunculan seperti jamur di musim
hujan. Kebanyakan mereka berpandangan bahwa, “idealisme-religiusitas” akan bisa
digulirkan apabila memaksimalkan partisipasi politik secara langsung. Bagi
mereka, pelajaran paling berharga adalah marginalisasi aspirasi politik partai
bernuansa agama di era Orba. Oleh karena itu, peluang di era
reformasi ini harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk mewujudkan “obsesi”
berpolitik dengan melibatkan agama secara eksplisit.
Terlepas
dari apakah adanya partai politik aliran ini, hanya sekedar menarik minat
partisipasi masyarakat beragamauntuk kepentingan kekuasaan kelompok tertentu
atau murni untuk mewujudkan sebuah refleksi semangat religiusitas. Maksud dari
asumsi terakhir ini adalah, mendirikan partai politik agama dalam
rangka merubah keberadaan masyarakat dengan nilai-nilai agama sebagai
sumber utama untuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Yang jelas, semenjak
partisipasi politik keagamaan dilembagakan, memberikan warna tersendiri dalam
percaturan politik di Indonesia. Paling tidak, dalam konteks demokrasi modern,
fenomena yang demikian ini menjadi “batu uji” sebuah makna sejati dari
demokrasi.
Masalah
lain yang tidak kalah pentingnya untuk didiskusikan adalah, Indonesia yang dikenal
mayoritas beragama, belum nampak terrefleksikan dalam prilaku
sehari-hari. Agamamungkin hanya sebatas identitas formalistis semata
(melengkapi administrasi KTP). Pernyataan ini sepertinya “sumir” dan “sinisme”
untuk masyarakat beragama pada umumnya. Tetapi ditilik dari realitas yang
berkembang, banyak indikasi yang mendukung pernyataan ini, semisal merebaknya
kasus KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) di seantero Nusantara. Padahal
“oknum” yang melakukan praktek KKN notabene beragama, bahkan mungkin lebih
terdidik. Hal ini menandakan bahwa “nafsu sahwat” materialisme lebih dominan
ketimbang semangat keberagamaan. Dari konteks yang demikian ini, ternyata
keberadaanagama di Indonesia belum dapat mengejawentah dalam
proses perubahan sosial ke arah yang lebih progres atau lebih baik.
Atas
dasar demikian, proses perubahan sosial tidak dapat dilepaskan dari
tanggung jawab seluruh masyarakatnya, terutama para pemeluk agama. Dalam
konteks sosiologis (fungsional-struktural), merubah masyarakat ke arah yang
lebih baik dan produktif, merupakan sebuah keharusan yang tidak dapat
dihindari.[8]
Dengan kata lain, umat beragama dengan semangat ajarannya, bukan saja
memikul tanggung jawab untuk memperkuat nilai-nilai moral, etik dan spiritual
sebagai landasan pembangunan, tetapi juga dituntut untuk memerankan fungsi
inspiratif, korektif, kreatif dan integratifagama ke dalam proses
keharmonisan sosial. Berhubungan dengan itu, tugas merubah kondisi sosial ke
arah yang lebih baik, bukan sekedar sebagai tugas kemanusiaan, akan tetapi
sekaligus merupakan pengamalan sejati ajaran setiap agamanya.
Teori
keagamaan Emile Durkheim menurut Djuretna menyatakan fungsiagama sebagai
pemersatu masyarakat.Agama bagi Durkheim adalah sebuah kekuatan kolektif
dari masyarakat yang mengatasi individu-individu dalam masyarakat. Setiap
individu, sebaliknya, merepresentasikan masyarakat dalamagama, yaitu melalui
ketaantan kepada aturan-aturan keagamA,[9] misalnya dengan menjalankan
ritual-ritual keagamaan. Agama, dengan demikian, menjadi tempat bersatunya
individu-individu, bahkan ketika terjadi banyak perbedaan antara individu
karena agamasebagai kekuatan kolektif masyarakat bersifat mengatasi
kekuatan-kekuatan individual. Selain itu, agama juga turut menjawab
masalah, persoalan dan kebutuhan hidup pribadi atau individu tertentu.
Dalam agama, individu merasa dikuatkan dalam menghadapi derita, frustrasi,
dan kemalangan. Melalui upacara keagamaan, individu dapat membangun hubungan
yang khusus dengan Yang Ilahi. Ritus-ritus itu memberi jaminan akan hidup, kebebasan
dan tanggung jawab atas nilai-nilai moral dalam masyarakat. Tidak hanya
itu, agama juga berfungsi untuk menjalankan dan menegakkan serta
memperkuat perasaan dan ide kolektif yang menjadi ciri persatuan masyarakat.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa agama dapat menjadi kekuatan yang
menyatukan masyarakat, bahkan jika terjadi banyak perbedaan antar individu atau
golongan, apalagi jika terdapat artikulasi kepentingan-kepentingan yang
membuahkan ideologi bersama. Dalam hal menyatukan masyarakat ritual-ritual
keagamaan mempunyai tempat yang vital. Melalui ritual-ritual keagamaan
individu-individu dalam masyarakat disatukan oleh kekuatan moral dan sentimen
moral maupun sosial.
D. Hubungan Agama dan
Perilaku Ekonomi
Pada
zaman keemasan Islam (the Golden Age of Islam), yaitu pada abadke-7 sampai ke
14, ekonomi danagama itu bersatu. Sampai akhir tahun 1700-an di Barat pun
demikian, ekonomi berkait dengan agama. Ahli ekonomi Eropa adalah pendeta.
Pada zaman pertengahan, ekonomi skolastik dikembangkan oleh ahli gereja,
seperti Thomas Aquinas, Augustin, dan lain-lain. Namun karena adanya revolusi
industri dan produksi massal, ahli ekonomi Barat mulai memisahkan kajian
ekonomi dari agama. Keadaan ini merupakan gejala awal revolusi menentang
kekuasaan gereja dan merupakan awal kajian ekonomi yang menjauhkan dari
pemikiran ekonomi skolastik. Sejak itu, sejarah berjalan terus sampai pada
keadaan di mana pemikiran dan kajian ekonomi yang
menentang agama mulai mendingin.
Para ekonom kontemporer mulai
mencari lagi sampai mereka menyadari kembali betapa pentingnya kajian ekonomi
yang berkarakter religius, bermoral, dan human.
Agama dan
ekonomi memiliki hubungan yang berkesinambungan. Kegiatan ekonomi yang baik
dalam kehidupan bemasyarakat akan berlandaskan pada kaidah-kaidah agama.
Perilaku produksi, distribusi, maupun konsumsi akan menunjukkan hal yang
positif jika didasari oleh kekuatan agama. Kegiatan ekonomi yang demikian
tidak akan menimbulkan kerugian pada masyarakat. Manusia diperbolehkan mencari
harta sebanyak-banyaknya karena tidak ada
satupun agama yang
melarangnya. Namun yang perlu dperhatikan adalah apakah proses pencapaian itu
sudah benar atau belum, sesuai dengan keyakinan agama atau
tidak. Agama juga memerintahkan manusia untuk menjalankan pola kerja
yang baik, perilaku konsumsi yang benar, dan hal-hal lain bersifat positif.
Jika dalam melakukan kegiatan ekonomi orang tidak didasari oleh
kekuatan agama, maka yang timbul adalah kecurangan-kecurangan pola kerja
yang tidak baik, kolusi, dan nepotisme, serta hal-hal lain yang sifatnya
destruktif.[10]
Sistem
Ekonomi Indonesia, mengacu pada kesepakatan Sumpah Pemuda 1928.Sistem
Ekonomi Indonesiamenurut Prof. Dr. Mubyarto [5]adalah aturan main
yang mengatur seluruh warga bangsa untuk bertunduk pada pembatasan-pembatasan
perilaku sosial-ekonomi setiap orang demi tercapainya tujuan
masyarakatIndonesia yang adil dan makmur. Aturan main
perekonomian Indonesiaberasas kekeluargaan dan berdasarkan demokrasi
ekonomi, yaitu produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan dan
penilikan anggota-anggota masyarakat. Dalam Sistem
Ekonomi Indonesia yang demokratis kemakmuran masyarakat lebih
diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Setiap warga negara berhak
memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai harkat dan martabat
kemanusiaan, sehingga dapat dihindari kondisi kefakiran dan kemiskinan.
Rodney
Wilson mengemukakan bahwa di Indonesia, meskipun Islam
merupakan agama mayoritas, sistem ekonomi Islam secara penuh sulit
diterapkan, tetapi Sistem Ekonomi Pancasila yang dapat mencakup warga non Islam
kiranya dapat dikembangkan. Merujuk sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa,
Sistem Ekonomi Pancasila menekankan pada moral Pancasila yang menjunjung tinggi
asas keadilan ekonomi dan keadilan sosial seperti halnya sistem ekonomi Islam.
Tujuan Sistem Ekonomi Pancasila maupun sistem ekonomi Islam adalah keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesiayang diwujudkan melalui dasar-dasar
kemanusiaan dengan cara-cara yang nasionalistik dan demokratis.DiIndonesia jika
Pancasila kita terima sebagai ideologi bangsa maka sistem ekonomi nasional
tentu mengacu pada Pancasila, baik secara utuh (gotong royong, kekeluargaan)
maupun mengacu pada setiap Silanya:
1. Ke-Tuhanan Yang Maha Esa:
Perilaku setiap warga Negara digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan
moral;
2. Kemanusiaan yang adil dan
beradab: Ada tekad seluruh bangsa untuk mewujudkan kemerataan nasional;
3.Persatuan Indonesia:
Nasionalisme ekonomi;
4.Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan: Demokrasi
Ekonomi;dan
5.Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia: Desentralisasi dan Otonomi Daerah.
Merujuk sila pertama
Ketuhanan Yang Maha Esa, Sistem Ekonomi Pancasila
menekankan pada moral
Pancasila yang menjunjung tinggi asas keadilan ekonomi dan keadilan sosial
seperti halnya sistem ekonomi Islam. Tujuan Sistem Ekonomi Pancasila maupun
sistem ekonomi Islam adalah keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesiayang diwujudkan melalui dasar-dasar kemanusiaan dengan cara-cara
yang nasionalistik dan demokratis.
Di Indonesia jika
Pancasila kita terima sebagai ideologi bangsa maka sistem ekonomi nasional
tentu mengacu pada Pancasila, baik secara utuh (gotong royong, kekeluargaan)
maupun mengacu pada setiap Silanya:
Ajaran agama Islam
dalam perilaku ekonomi manusia dan bisnis Indonesiamakin mendesak
penerapannya bukan saja karena mayoritas
bangsa Indonesiaberagama Islam, tetapi karena makin jelas ajaran
moral ini sangat sering tidak dipatuhi.[11]
Dengan perkataan lain penyimpangan demi penyimpangan dalam Islam jelas
merupakan sumber berbagai permasalahan ekonomi nasional.
Kajian
ekonomi pada abad ini (the age of reason) bertolak pada pemikiran ilmu ekonomi
yang lebih terandalkan dalam menjaga keselamatan seluruh manusia dan alam
semesta. Ekonomi yang memiliki nilai-nilai kebenaran (logis), kebaikan (etis),
dan keindahan (estetis). Ekonomi yang dapat membebaskan manusia dari aksi
penindasan, penekanan, kemiskinan, kemelaratan, dan segala bentuk
keterbelakangan, serta dapat meluruskan aksi ekonomi dari karakter yang tidak
manusiawi, yaitu ketidakadilan, kerakusan, dan ketimpangan. Ekonomi yang secara
historis-empiris telah terbuktikan keunggulannya di bumi ini tidak bebas atau
tidak dapat membebaskan diri dari pengadilan nilai, yaitu nilai yang bersumber
dari agama (volue committed), dialah ekonomi Syariah[8].Dan
kini,Indonesia pun sedikit demi sedikit mulai beralih pada system ekonomi
syari’ah.Yang sistemnya dapat menguntungkan kedua belah pihak.
BAB III
PENUTUP
SIMPULA
Agama memiliki
peranan yang penting dalam kehidupan.Ia berfungsi sebagai penyelaras kehidupan
di muka bumi ini.Agama dikatakan sebagai sebab perubahan,tentunya menjadi
perubahan ke arah yang lebih baik. Karena agamaislam sendiri menekankan
empat sifat sekaligus,yakni:
1.Kesatuan (unity)
2.Keseimbangan (equilibrium)
3.Kebebasan (free will)
4.Tanggungjawab
(responsibility)
Mengenai
persoalan agama dapat menimbulkan perpecahan,itu bukan salah ajaran
sosialnya,namun pepacahan terjadi karena ada oknum-oknum yang
mengatasnamakan agamauntuk kepentingan organisasi semata.karena pada
dasarnya tidak ada satu agamapun yang menghendaki hal demikian.
Agama berperan
dalam beragam aspek,salah satu aspek ekonomi. Kegiatan ekonomi yang baik dalam
kehidupan bemasyarakat akan berlandaskan pada kaidah-kaidahagama. Perilaku
produksi, distribusi, maupun konsumsi akan menunjukkan hal yang positif jika
didasari oleh kekuatan agama. Kegiatan ekonomi yang demikian tidak akan
menimbulkan kerugian pada masyarakat. Manusia diperbolehkan mencari harta
sebanyak-banyaknya karena tidak ada satupunagama yang melarangnya
Kegiatan ekonomi yang secara
historis-empiris telah terbuktikan keunggulannya di bumi ini tidak bebas atau
tidak dapat membebaskan diri dari pengadilan nilai, yaitu nilai yang bersumber
dari agama (volue committed), dialah ekonomi Syariah
DAFTAR
PUSTAKA
Imam Muhni, Djuretna A. 1994
elearning.gunadarma.ac.id/…sosial…/bab6_lapisanlapisan_dalam_masyarakat_(stratifikas_sosial).pdf –
Ahmad,Beni,Sosiologi Agama,hlm.2
http://id.shvoong.com/
Guru Besar Fakultas Ekonomi
UGM dan Ketua Yayasan Agro Ekonomika
http://www.indonesiaindonesia.com
Rodney Wilson, Economics,
Ethics and Religion, Macmillan, 1997. h. 211
erlan-abuhanifa.blogspot.com/…/ekonomi-dan-agama
Djam’an Satory dkk, Profesi Keguiruan,( Jakarta:
Universitas Terbuka, 2009), 54-57.1984
Harahap, S. 1994, Sejarah Agama-Agama: Sejarah,Ajaran, dan Pengembangan,
Medan: PustakaWidyasarana.
[11] Harahap, S. 1994, Sejarah Agama-Agama: Sejarah,Ajaran, dan Pengembangan,
Medan: PustakaWidyasarana.
No comments:
Post a Comment