HIRARKI SYARI’AH, THARIQAH, HAQIQAH, DAN MA’RIFAH
MAKALAH
Ditujukan untuk
memenuhi syarat salah satu tugas mata kuliah
“Akhlak
Tasawuf”
Dosen pembimbing
Dr. M. Arif Faizin, M. Ag.
Disusun oleh:
1. Mu’azarotul Husna (1725143184)
2. Nia Maria Ulfa (1725143186)
3. Nila Lukluin Na’im (1725143205)
KELAS B SEMESTER I
JURUSAN PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
TULUNGAGUNG
OKTOBER 2014
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami
panjatkan kehadirat Alloh SWT, atas segala limpahan rahmat, taufik, hidayah dan
inayahNya, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Hirarki Syari’ah, Thariqah, Haqiqah, dan Ma’rifah” dengan
hadirnya makalah ini dapat memberikan informasi bagi para pembaca, khususnya
mahasiswa program studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI).
Sholawat dan
salam tetap tercurahkan dan dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad
SAW, serta keluarga, sahabat dan pengikutnya.
Penyusun
menyadari tanpa bantuan dari semua pihak, penulisan makalah ini mungkin tidak
dapat terlaksana. Oleh karena itu, penyusun mengucapkan terima kasih kepada :
1.
Dr.
Maftukhin, M.Ag, selaku rektor IAIN Tulungagung yang telah memberikan
konstribusi dan izin sehingga kami dapat menuntut ilmu di IAIN Tulungagung.
2.
Dr.
M. Arif Faizin M. Ag, selaku dosen pengampu
mata kuliah Akhlaq Tasawuf yang telah membimbing kami dalam penyusunan makalah
ini.
3.
Teman-teman
semuanya yang telah memberikan motivasinya serta semua pihak yang telah
membantu terselesainya penyusunan makalah ini.
Penyusun
menyadari masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penyusunan makalah ini,
karena keterbatasan kemampuan yang penyusun miliki. Oleh karena itu, penyusun
mohon kritik dan sarannya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semuanya.
Tulungagung, 03 Oktober
2014
Penyusun
DAFTAR ISI
COVER................................................................................................... i
KATA PENGANTAR............................................................................
ii
DAFTAR ISI..........................................................................................
iii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah................................................................ 1
B.
Rumusan
Masalah.......................................................................... 1
C.
Tujuan
Pembahasan Masalah......................................................... 2
D.
Batasan
Masalah............................................................................ 2
BAB
II PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Syari’ah........................................................................ 3
B.
Pengertian
Thariqah...................................................................... 5
C.
Pengertian
Haqiqah....................................................................... 6
D.
Pengertian
Ma’rifah....................................................................... 7
E.
Hirarki
Syari’ah, Thariqah, Haqiqah, dan Ma’rifah...................... 8
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan.................................................................................... 10
B.
Saran.............................................................................................. 10
DAFTAR RUJUKAN ........................................................................... 11
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Berbagai upaya dilakukan manusia
untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Mereka mencari jalan yang dapat membawa
mereka lebih dekat dengan Tuhan sehingga mereka merasa melihat Tuhan dengan
hati sanubari, bahkan merasa bersatu dengan Tuhan. Ajaran-ajaran seperti ini
terdapat dalam tasawuf.
Meskipun secara tekstual tidak
terdapat ketentuan untuk melaksanakan tasawuf, namun hal ini telah dilakukan
Rasulullah SAW. dengan pergi ke Gua Hira untuk mengasingkan diri dari kehidupan
kota Mekkah yang hanyut oleh penyembahan-penyembahan terhadap berhala dan
merenung mencari hakikat kebenaran disertai beribadah dan berpuasa sehingga
jiwanya semakin suci dengan membawa sedikit bekal.
Amalan tersebut mewarnai kehidupan
para sahabat. Mereka meneladani kehidupan Rasulullah SAW. dan membaktikan
hidupnya untuk kepentingan agama. Diantara mereka ada yang tekun beribadah dan
hidup zuhd. Mereka dikenal dengan Ahl al-shuffah. Yang kemudian disebut sebagai
cikal bakal munculnya kaum shuffi.
Dilihat dari segi amalan serta jenis
ilmu yang dipelajari, maka terdapat beberapa istilah yang khas dalam ilmu
tasawuf. Kaum sufi membagi ajaran agama kepada ilmu lahiriah dan ilmu batiniah.
Oleh karena itu, cara memahami dan mengamalkannya juga harus melalui aspek
lahir dan batin. Kedua aspek yang terkandung dalam ilmu agama tersebut oleh
kaum sufi dibagi menjadi empat kelompok, yaitu syari’ah, thoriqad, haqiqah, dan
ma’rifah.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana pengertian Syari’ah?
2.
Bagaimana pengertian Thariqah ?
3.
Bagaimana pengertian Haqiqah?
4.
Bagaimana pengertian Ma’rifah?
5.
Bagaimana hirarki antara syari’ah, thariqah, haqiqah, dan ma’rifah ?
C.
Tujuan Pembahasan
1.
Untuk menjelaskan pengertian Syari’ah.
2.
Untuk menjelaskan pengertian Thariqah.
3.
Untuk menjelaskan pengertian Haqiqah.
4. Untuk
menjelaskan pengertian Ma’rifah.
5. Untuk mengidentifikasi hirarki antara syari’ah, thariqah, haqiqah, dan ma’rifah.
D. Batasan Masalah
Makalah
ini hanya membahas tentang pengertian
dan hirarki dari syari’ah, thariqah, haqiqah, dan ma’rifah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN SYARI’AH
Secara
bahasa, syari’ah berarti jalan,
peraturan, undang-undang tentang suatu perbuatan. Ia berasal dari bahasa Arab “syara’atun wa syariiatun – syara’a” yang
artinya: menggariskan suatu aturan atau pedoman. Disamping itu, syariah secara
leksikal berarti jalan menuju perhimpunan air untuk minum manusia, dan juga
untuk binatang-binatang piaraan.
Secara
istilah, syariah (syariiatun) adalah
undang-undang yang dibuat oleh Tuhan Alloh SWT yang tegak di atas dasar iman
dan islam, berupa seperangkat hukum tentang perbuatan zhahir/formal manusia
yang diatur berdasarkan wahyu al-Qur’an dan hadits atau as-sunnah.[1]
Syari’ah
juga diartikan undang-undang atau garis-garis yang telah ditentukan termasuk
didalamnya hukum-hukum halal dan haram, yang diperintah dan dilarang, sunnah,
makruh, serta mubah.[2]
Syariat Islam
secara garis besar mencakup tiga hal:
1. Petunjuk dan
bimbingan untuk mengenal Allah SWT dan alam gaib yang tak terjangkau oleh
indera manusia (Ahkam syar'iyyah
I'tiqodiyyah) yang menjadi pokok bahasan ilmu tauhid.
2. Petunjuk untuk
mengembangkan potensi kebaikan yang ada dalam diri manusia agar menjadi makhluk
terhormat yang sesungguhnya (Ahkam
syar'iyyah khuluqiyyah) yang menjadi bidang bahasan ilmu tasawuf (ahlak).
3. Ketentuan-ketentuan
yang mengatur tata cara beribadah kepada Allah SWT atau hubungan manusia dengan
Allah, serta ketentuan yang mengatur pergaulan/hubungan antara manusia dengan
sesamanya dan dengan lingkungannya.
Syariat memiliki
sifat-sifat, antara lain:
1.
Umum, maksudnya syariat Islam berlaku bagi segenap
umat Islam di seluruh penjuru dunia, tanpa memandang tempat, ras, dan warna
kulit. Berbeda dengan hukum perbuatan manusia yang memberlakukannya terbatas
pada suatu tempat karena perbuatannya berdasarkan faktor kondisional dan
memihak pada kepentingan penciptanya.
2.
Universal, maksudnya syariat Islam mencakup segala
aspek kehidupan umat manusia. Ditegaskan oleh Allah SWT. "Tidak ada sesuatu pun yang kami luputkan di dalam Kitab
(Al-Qur'an)." (QS. 6/An-An'am: 38). Maksudnya di dalam Al-Qur'an itu
telah ada pokok-pokok agama, norma-norma, hukum-hukum, hikmah-hikmah, dan
tuntunan untuk kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat.
1.
Orang
yang bepergian (Musafir) mendapat keringanan boleh mengqoshor (memendekkan
sholat yang empat rokaat menjadi dua rokaat), dan boleh tidak berpuasa dengan
catatan harus menggantinya pada hari yang lain.
2.
Orang
yang sedang sakit tidak diharuskan bersuci dengan wudhu, melainkan dengan
tayammum yakni menggunakan debu. Dalam menunaikan sholat pun jika tidak sanggup
berdiri, boleh dengan duduk, atau bahkan boleh sambil merebahkan diri.
3.
Percikan
najis dari genangan air di jalanan, apabila mengena pakaian, dimaafkan karena
itu sulit di hindarkan.
4.
Dalam keadaan terpaksa, tidak ada secuil pun
makanan untuk mengganjal perut, makanan yang telah diharamkan seperti bangkai,
boleh dimakan asalkan tidak berlebihan.
5.
Seimbang antara kepentingan dunia dan akhirat. Islam tidak memerintahkan umatnya untuk mencari
kesenangan dunia semata, sebaliknya juga tidak memerintahkan pemeluknya mencari
kebahagiaan akhirat belaka. Akan tetapi Islam mengajarkan kepada pemeluknya
agar mencari kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat kelak.[3]
B.
PENGERTIAN THARIQAH
Secara bahasa, thariqah
berasal dari kata bahasa Arab “tariiqatun”
yang derivasinya adalah tariiqun-yatriqun-tariq
yang berarti melewati suatu jalan.
Dalam
istilah sufistik, thariqah-yang
selanjutnya ditulis dengan tarekat-sebagaimana dijelaskan oleh Abu Bakar Aceh
yang dikutip Mustafa Zahri adalah jalan atau petunjuk melakukan ibadah tertentu
sesuai dengan ajaran yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.[4]
Dalam melaksanakan syariat tersebut, harus
berdasarkan tata cara yang telah digariskan dalam agama dan dilakukan karena
penghambaandiri kepada Allah, kecintaan pada Allah, dan ingin berjumpa
pada-Nya. Perjalanan menuju pada Allah itulah yang mereka maksud dengan
thariqat. Perjalanan ini sudah bersifat batiniah, yaitu amalan lahir yang
disertai amalan batin.
Menurut kaum Sufi, kehidupan di alam ini penuh
dengan rahasia. Rahasia itu tertutup oleh dinding-dinding. Di antara
dinding-dinding itu ialah hawa nafsu, keinginan, dan kemewahan hidup duniawi.
Rahasia itu mungkin terbuka dan dinding (hijab) itu mungkin tersingkap dan kita
dapat melihat atau merasa atau berhubungan langsung asal kita mau menempuh
jalannya. Jalan itulah yang dinamakan Thariqat.
Sesuai dengan firman Alloh SWT :
“Dan bahwasanya : Jikalau mereka tetap
berjalan lurus diatas jalan itu atau agama islam, benar-benar kami akan memberi
minum kepada mereka air yang segar (rezeki yang banyak).” (QS.Al-Jinn (72):16).
Menempuh Thariqat untuk membuka rahasia dan
menyingkap dinding tersebut kaum sufi mengadakan kegiatan batin melalui Riyadhoh atau latihan dan mujahadah atau perjuangan yang cukup
panjang. Jelaslah bahwa thariqat adalah suatu sistem atau metode untuk mengenal
dan merasakan adanya Tuhan, yaitu seorang dapat melihat Tuhannya dengan mata
batinnya. Dalam menempuh jalan bertemu dengan Allah, seseorang harus
memperbanyak dzikir kepadaNya. Disamping melakukan latihan dan perjuangan yang
memerlukan ketekunan, kesungguhan serta kesabaran.[5]
C.
PENGERTIAN HAQIQAH
Hakikat (Haqiqat) adalah kata benda yang
berarti kebenaran atau yang benar-benar ada. Kata ini berasal dari kata pokok
hak (al-Haq), yang berarti milik (kepunyaan) atau benar (kebenaran).
Secara etimologi haqiqah berarti inti sesuatu,
puncak atau sumber asal dari sesuatu. Dalam dunia sufi, haqiqah diartikan
sebagai aspek lain dari syari’ah yang bersifat lahiriah, yaitu aspek batiniah.
Dengan demikian haqiqah dapat diartikan sebagai rahasia yang paling dalam dari
segala amal, dan inti dari syari’ah.
Dalam bahasa hakikat yaitu arti yang
sebenarnya atau intisari atau isi akhiran. Sedangkan hakikat islam ialah bebas
dan bersih dari penyakit lahir dan bathin yang menimbulkan perasaan nyaman, damai
dan tentram serta menjadikan kita patuh dan taat pada segala apa yang
diperintahkan oleh-Nya juga menjauhi segala larangan-Nya. Jadi Hakikat adalah buah dari
benih syariat yang pengamalannya melalui tarekat menjadi sebuah pohon rimbun
yang menghasil buah.
Menurut Prof. Dr. H. Abu Bakar Aceh seperti yang dikutip Abdul Karim as Salawy yaitu menyimpulkan tentang ilmu haqiqat itu ada tiga bagian antara lain:
Menurut Prof. Dr. H. Abu Bakar Aceh seperti yang dikutip Abdul Karim as Salawy yaitu menyimpulkan tentang ilmu haqiqat itu ada tiga bagian antara lain:
1. Hakekat Tashawwuf
Hakekat Tashawuf ini diutamakan untuk membicarakan
usaha-usaha memutuskan syahwat dan meninggalkan dunia dengan segala keindahanya
serta menarik diri dari kebiasaan-kebiasaan duniawi.
2. Hakekat Ma’rifat
Yaitu mengenal nama-nama Alloh dan sifat-sifat Nya
dengan bersungguh-sungguh dalam segala pekerjaan .
3. Hakekatul Haqoiq
Hakikat ini merupakan puncak segala hakikat, ia
termasuk martabat ahadiayah, penghimpun bagi semua hakikat.[6]
D.
PENGERTIAN MA’RIFAH
Ma'rifat adalah tingkatan tertinggi dari suatu fase keimanan.
Dari segi bahasa Ma’rifat berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu, irfan, ma’rifat yang artinya pengetahuan dan pengalaman. Dan dapat pula berarti pengetahuan tentang rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang bisa didapati oleh orang-orang pada umumnya.
Dari segi bahasa Ma’rifat berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu, irfan, ma’rifat yang artinya pengetahuan dan pengalaman. Dan dapat pula berarti pengetahuan tentang rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang bisa didapati oleh orang-orang pada umumnya.
Secara harfiah kata Ma’rifat berasal dari kata
Ma’rifata yang searti dengan kata ‘alama yang artinya adalah pengetahuan
yang mantap dan meyakinkan. Hanya saja, kalau dirinci, terdapat perbedaan :
bahwa kata ‘arofa-ya’rifu berarti
mengetahui dengan daya qalbiyah
sehingga berarti adroka yang
maksudnya adalah menemukan kemantapamn hati tentang sesuatu yang dicari,
sedangkan kata ‘alima-ya’lamu berarti
memahami dan mengerti yang berbasis aqliyyah.
Dengan demikian kata ma’rifat berarti
pengetahuan batin yang berbasis kekuatan kalbu sehingga membuahkan suatu
pengenalan tentang sesuatu, dan terasa dekat serta hadir dalam sesuatu yang
dikenali tersebut.[7]
Seseorang
yang telah mencapai ma’rifat akan selalu memperbanyak amal kebaikan demi
mencapai keridhoanNya. Maksud dan tujuan manusia memperbanyak amal kebaikan itu
hanya untuk kebaikan manusia itu sendiri, bukan untuk Alloh. Dengan
Ma’rifatulloh, manusia akan selalu terdorong untuk mendekatkan dirinya kepada
Alloh dengan melakukan amal sholeh. Ma’rifatulloh dapat dicapai dengan
melakukan syariat, menempuh thariqat dan memperoleh Haqiqat. Apabila Syariat
dan Thariqat itu dapat dikuasai, timbullah Haqiqat yang tidak lain dari
perbaikan keadaan atau ahwal. Sedangkan tujuan akhir ma’rifat yaitu mengenal
Alloh dan mencintaiNya dengan sesungguhnya.[8]
E. HIRARKI SYARI’AH, THARIQAH, HAQIQAH, MA’RIFAH
Uraian tentang syari’ah, thariqah, haqiqah, dan
ma’rifah di atas mengambarkan betapa seriusnya para ulama sufi dalam
upayanya memberi jalan bagi umat untuk mengamalkan ajaran islam dengan mudah
dan tepat, sehingga mengantarkan hamba menuju kebahagian zhahir dan batin.
Syariah itu diibaratkan sebagai perahu dimana
ia menjadi sarana untuk sampai pada tujuan, sementara thariqah bagaikan lautan
luas yang tersedia sebagai wahana tempat tujuan berada. Sedangkan haqiqah
adalah laksana intan berlian mahal yang menyenangkan hati sebagai tujuan
perjalanan perahu. Dan ma’rifat itu adalah
tujuan yang terakhir.
Ber-thariqah
dan ber-haqiqah (berada dilautan luas
menggapai mutiara) tergantung dengan syariah (sarana perahu yang kokoh).
Seorang tidak akan berhasil ber-thariqah dan ber-haqiqah tanpa melalui syariah.
Dengan ungkapan lain, bahwa seseorang tidak akan mendapatkan intan-mutiara
tanpa menyediakan perahu dan menyemai lautan dalam. Perumpamaan keempat konseptersebut merupakan sebuah
sistem dan struktur amalan islam yang tidak dapat dipisah-pisah.
Ibarat buah manis suatu pohon, maka tidak bisa
buah tersebut bermunculan terus tanpa disuplai oleh akar-akar pohon, oleh
karena kesemuanya merupakan satu struktur sistematik. Sama halnya dengan satu
buah berharga semisal durian. Seseorang tidak dapat langsung memperoleh inti buahnya,
kecuali terlebih dahulu harus mengupas kulit dengan susah payah, dan beresiko
terkena durinya, dan oleh sebab itu harus hati-hati.
Atas dasar ilustrasi seperti itu,
ibadah-ibadah islam terus diwajibkan sepanjang hidup manusia sembari diperoleh
buah ibadah yang berupa ma’rifattullah yang
menjadi hakikat dan tujuan ibadah tersebut.
Dari uraian dan ilustrasi tentang syariah,
thariqah, haqiqah, dan ma’rifat di atas dapat dipahami, bahwa keempat tema
tersebut adalah sebuah konseptualisasi terhadap islam oleh para sufi dalam
rangka menjelaskan prosedur pengamalan islam dengan benar. Singkatnya,
konseptualisasi tersebut menggambarkan intensitas keislaman pengamalanya,
bukannya mengkotak-kotak islam menjadi empat dimensi terpisah.[9]
BAB
III
A.
Kesimpulan
1. Syari’ah adalah undang-undang yang dibuat oleh Tuhan
Alloh SWT yang tegak di atas dasar iman dan islam, berupa seperangkat hukum
tentang perbuatan zhahir/formal manusia yang diatur berdasarkan wahyu al-Qur’an
dan hadits/as-sunnah.
2. Thariqah
yaitu jalan atau petunjuk melakukan ibadah tertentu sesuai dengan ajaran yang
dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.
3. Haqiqah
adalah kata benda yang berarti kebenaran atau yang benar-benar ada. Kata ini
berasal dari kata pokok hak (al-Haq), yang berarti milik (kepunyaan)
atau benar (kebenaran).
4. Ma’rifah adalah pengetahuan batin yang berbasis
kekuatan kalbu sehingga membuahkan suatu pengenalan tentang sesuatu, dan terasa
dekat serta hadir dalam sesuatu yang dikenali tersebut.
5. Hirarki
syariah, thariqah, haqiqah, dan ma’rifat dapat dipahami, bahwa keempat
tema tersebut adalah sebuah konseptualisasi terhadap islam oleh para sufi dalam
rangka menjelaskan prosedur pengamalan islam dengan benar.
B.
Saran
1. Bagi pembaca sebaiknya dijadikan untuk wawasan, ilmu pengetahuan serta
sebagai acuan agar termotivasi untuk melaksanakan Syariat, Thariqat, Hakikat, dan
Ma’rifat.
2. Bagi pendidikan sebaiknya dijadikan salah satu referensi dalam
melaksanakan pembelajaran dan sebagai tolak ukur bahan pembelajaran.
DAFTAR
RUJUKAN
Amin, Samsul Munir. 2014. Ilmu
Tasawuf. Jakarta: Amzah.
as Syalawy, Abdul Karim. 1995. Titik Persimpangan Tasawuf dan Kebatinan.
Pekalongan: Bahagia.
Zn., Hamzah Tualeka, dkk. 2011. Akhlak Tasawuf. Surabaya: IAIN Sunan
Ampel Press.
http://blog.iain-tulungagung.ac.id/imam/mata-kuliah/ilmum-tasawwuf/1/
diakses pada 27 Oktober 2014.
http://blog.iain-tulungagung.ac.id/imam/mata-kuliah/ilmum-tasawwuf/3/
diakses pada 27 Oktober 2014
[1] Hamzah Tualeka Zn.,dkk.,
Akhlak Tasawuf (Surabaya : IAIN Sunan
Ampel Press, 2011), hal. 275.
[2] Syamsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf (Jakarta: Amzah), hal. 47.
[3] http://blog.iain-tulungagung.ac.id/imam/mata-kuliah/ilmum-tasawwuf/1/ diakses pada 27 Oktober
2014.
[5] Syamsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf ..., hal. 49-50.
[6] Abdul Karim as Syalawy, Titik Persimpangan Tasawuf dan Kebatinan
(Pekalongan: Bahagia, 1995) hal. 75-76
[7] Hamzah Tualeka Zn., dkk,Akhlak Tasawuf..., hal. 291-192.
[8] Syamsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf ..., hal. 53.
[9] Hamzah Tualeka Zn., dkk,
Akhlak Tasawuf..., hal. 295.
Izin Copy-Paste Min, Terima kasih.
ReplyDelete